Rabu, 19 Oktober 2016

Soekarman, Sang Laskar Pemimpin

oleh Muhammad Thohari

Ilustrasi: https://balaimedia.tv



Seorang anak bermuka lesu terlihat kelaparan di dekat pematang sawah, dekat rumahnya. Ia memandangi langit biru yang penuh dengan gumpalan awan. Ia membayangi dirinya menjadi seorang yang tampan dan berlimpah harta. Untuk menjadi kaya raya pada zaman itu membutuhkan mental kuat dan harus siap bekerja di bawah kepemimpinan Belanda. Hal ini terjadi setelah Belanda melakukan agresi militernya yang kedua. Ia pun memiliki niat untuk bekerja di sebuah perusahaan binaan Belanda, Indische Java Corps. Ia pun lari ke rumahnya dan berteriak, “MBOK'E! AKU MAU KERJA SAMA ORANG PIRANG ITU.” Ibunya yang mendengar dari kejauhan pun terkejut mendengar keinginan anaknya bekerja untuk orang-orang Belanda yang saat itu hampir sepenuhnya menguasai setiap sudut desa-desa di Indonesia. “Nak... Nak... Janganlah kau terhasut oleh pirang-pirang itu anakku. Sudahlah, simbok sedang memasakkan randang untukmu,” balas Ibunya dengan tenang. “Tapi Mbok'e, aku pingin jadi orang kaya! Supaya bisa memenuhi kebutuhan Mbok'e,” semangat Soekarman. “Kau lebih baik menjadi orang yang berguna bagi bangsa, anakku karena sepatutnya di usiamu itu belajar saja, sudahlah, kau bermain saja dengan kawan-kawan kau.” alih sang ibu. Soekarman pun kehilangan semangat. Neneknya yang melihat kejadian itu, langsung berusaha untuk menghibur Soekarman. Ia mengajak cucunya itu untuk menginap semalam di rumahnya.

Soekarman beranjak remaja, Ibunya meninggal di usia belasan tahun. Kini ia tinggal bersama neneknya. Ia bekerja sebagai pengangkut barang di pasar-pasar. Suatu hari, matahari masih setonggak naik, terdengar kebisingan di luar rumah. “Apa ini, berisik sekali? Ganggu orang istirahat saja!” Soekarman pun berniat untuk melihat apa yang terjadi. Saat ia keluar pintu, ia melihat seorang fakir miskin berbadan kurus dibunuh oleh tentara Belanda. Ia pun tampak syok melihat itu. Tank-tank mulai mengepung desa. Salah satu perwira Belanda bersama anak buahnya mulai menghancurkan rumah satu persatu. Melihat itu, Soekarman berlari ke dalam dan mengunci pintu. “Nek, bangunlah, nek!” Neneknya terbangun dan melihat muka Soekarman yang terlihat cemas. “Ada apa, man? Kau tampak cemas sekali,” tanya Nenek. “Belanda, nek! Belanda kembali!” seru Soekarman. Mendengar itu, sang Nenek langsung menggeser pintu rahasia yang ditutup sebuah lemari, kemudian menyuruh Soekarman untuk masuk ke dalamnya. “Cepatlah, man! Engkau masih muda, bangsa ini membutuhkan jasa-jasamu!” “Tapi bagaimana dengan nenek?” timpalnya. “Biarlah nenek di sini untuk mencegah mereka menangkapmu. Semoga Tuhan mempertemukan kita lagi nanti.” Dengan air mata yang membasahi pipinya, Soekarman pun menuruti perintah nenek. Ternyata lorong rahasia bawah tanah itu tembus ke halaman belakang rumah. Ia mendengar neneknya disiksa oleh tentara Belanda di dalam. Soekarman menangis, lagi-lagi ia harus kehilangan orang yang ia sayangi. “Awas saja kau, kenil! Kau akan mendapatkan balasan yang setimpal dariku!” Janji Soekarman. Ia berlari tak menentu arah, menjauh dari desa itu.

Setelah kejadian itu, Soekarman diam-diam ikut TRI (Tentara Republik Indonesia). Kamp pelatihannya jauh dari desa itu. Ia menjadi seorang pria yang berwibawa, berotot, dan perkasa. Setelah dewasa dan diangkat oleh panglima Peta sebagai tentara infanteri, ia memulai misi pertamanya, yakni bergerilya di desa yang pernah ia tinggali bersama neneknya. Dengan tujuan untuk mengambil alih kawasan yang telah di jajah oleh tentara Belanda. Sebelum bergerilya, ia diperintahkan untuk memata-matai desa itu terlebih dahulu. Ia menerima segala perintah dengan lapang dada. Di pinggiran desa, ia sudah melihat bendera Belanda yang berukuran besar dan jelas, berkibar di tengah-tengah desa. “Ternyata ini markas kecil baru para kenil itu?” Bisik Soekarman ke dirinya sendiri. Ia mulai bergerak perlahan-lahan untuk memastikan jumlah tentara kenil yang sedang berjaga di situ. Saat ia mengendap-endap, ia tak sengaja menyenggol barisan senapan hingga penjaga mendengar suara itu. “What was that?” Kata salah satu penjaga yang mendengar teriak Soekarman. Soekarman tiba-tiba ditarik oleh seseorang dari belakang. “Tenang, ini aku dari TRI. Tenanglah” Bisik orang misterius itu. “Siapa kamu?” Tanya Soekarman terkejut dan bersiap mengeluarkan belatinya. “Aku Marken, dari resimen Siliwangi IV, kau siapa?” Marken menanya balik. “Aku... Aku.... Soekarman... Dari Siliwangi VII,” Balas Soekarman. “Ikut aku” kata Marken. Mereka pun mengendap-endap lebih dekat lagi untuk melihat markas Belanda yang lebih jelas. Saat sedang mengendap, penjaga menara melihat mereka. “INDISCHE! SHOOT!” Lampu sorot pun terpaku ke mereka. Marken tertembak, lengan kanannya terluka.

Sambil membopong Marken, Soekarman membawanya bersembunyi di balik sebuah dinding reruntuhan rumah. “Lihat bendera Belanda itu? Cabutlah, lalu kita pergi!” kata Marken yang bersandar menahan darah yang terus bercucuran di lengannya. Soekarman mengangguk. Mulailah mereka mendekati bendera Belanda. Para penjaga tampaknya masih sibuk berteriak memanggil sekutu-sekutunya. Bendera Belanda berhasil di turunkan. Soekarman selamat, Marken tidak. Marken bertemu dengan akhir hayatnya. Soekarman tidak dapat menahan sedih dan langsung mengambil kalung prajurit milik Marken. Ia pun langsung mengucapkan selamat tinggal, dan kembali ke markas.
Sepulangnya di markas, Soekarman tidak langsung melapor ke perwira setempat, melainkan ia merenung di baraknya. Ia telah kehilangan orang-orang yang ia sayangi. Nenek, Ibu, semuanya hilang dalam sekejap. Seorang rekan kerjanya melihat Soekarman di barak nya. “Soekarman! Kemana saja kau? Aku cemas akan kau.” Soekarman tidak menjawab, dan melanjutkan renungannya. Ia pun menunjukkan kalung prajurit milik Marken. “Aku mengerti, Soekarman. Akanku sampaikan ini ke perwira setempat.”

Agresi Belanda telah selesai. Untuk pertama kalinya, Indonesia benar-benar merdeka secara resmi. Para pahlawan yang selamat sekalipun diantaranya cacat fisik di berikan sebuah penghargaan, termasuk Soekarman. Setelah menerima penghargaan itu, ia memutuskan untuk pensiun dari karir militernya. Dalam pidatonya, ia sempat menyelipkan doa-doa untuk teman seperjuangannya yang gugur di dalam medan perang, termasuk Marken. Tanpanya, ia tak dapat berdiri hingga kini menyampaikan pengalamannya dalam bertempur, mungkin juga merasakan kemerdekaan bagi seluruh bangsa Indonesia.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Tata Letak oleh Mochamad Latif Faidah