Minggu, 04 Maret 2018

Reaksi Magz Vol 2: Yang Muda, Yang Berbudaya!




Alhamdulillah Reaksi Magz Vol (Edisi) kedua telah terbit. Ini merupakan hasil kerja keras tim Reaksi SMP dan SMA Tunas Unggul yang telah menghimpun beberapa informasi dan karya sejak semester ganjil lalu. Dengan tim redaksi yang baru serta nuansa setting yang lebih colorfull diharapkan meningkatkan minat menulis sekaligus menjadi kebanggaan SMP dan SMA Tunas Unggul Bandung.
Kami ucapkan terima kasih kepada Yayasan Tunas Unggul, kepala sekolah, para guru dan siswa, juga Aisyah Tiara selaku penyunting tata letak.
Dengan dukungan semua pihak, semoga kami tetap konsisten dalam berkarya untuk menggerakan lingkungan sekitar secara positif.


Sila unduh selengkapnya

http://bit.ly/2DmjAOt



Kami sangat menanti apresiasi berupa kritik maupun saran pada kotak komentar di bawah ini.
Bagikan (share) link ini di media sosialmu jika menarik dan positif!

Salam Karya!

Kamis, 01 Maret 2018

Kenangan Dari Buyut - Rizky Muhammad Fajri




Ilustrasi: Google Chrome



              Hari ini akhirnya tiba. Hari saat sekolah SMP Tunas Unggul mengadakan pertukaran murid, antara Jepang dan Indonesia. Masing-masing dari kami mengirimkan tiga murid. Aku, Phalosa, dan Nadif sedang menunggu kedatangan ketiga murid tersebut. “Hey, apa mungkin, kita harus bicara Bahasa Inggris terlebih dahulu? Menanyakan mereka, apakah mereka berbicara Bahasa Indonesia,” Nadif bertanya padaku dan Phalosa. Lalu, Phalosa menjawab, “Mungkin, kita harus menanyakan mereka dulu. Rizky, kamu jago Bahasa Inggris, kamu yang tanyakan.” Aku hanya mengangguk untuk menjawab. Setelah beberapa menit menunggu, mereka akhirnya datang. Kami bertiga berjalan mendekati mereka, dan mereka berjalan mendekati kami. “Excuse me, but are you, Athena Kutsushi, Karma Maehara, and Isogai Yanagisawa?” aku bertanya. “Yes. Are you, Rizky, Nadif, and Phalosa?” Isogai bertanya. Aku mengangguk untuk menjawab pertanyaan mereka. “Do you speak Indonesian?” Aku bertanya kepada mereka. Lalu, Athena bilang, “Ya, kami bisa berbicara Bahasa Indonesia, tetapi belum terlalu lancar. Semoga kalian bisa memahami kami.” Setelah itu, kami disuruh untuk mendampingi murid-murid tersebut.
            Nadif bersama Isogai, Phalosa bersama Karma, dan Aku bersama Athena. Kami harus memberi murid-murid Jepang ini tur di Bandung. Kami menaiki sebuah mobil yang sama, untuk ke tempat yang sudah diberitahukan oleh guru. Destinasi pertama kami adalah Monumen Perjuangan. Sekarang, kami berenam dalam perjalanan menuju monumen tersebut. Saat yang lain senang mengobrol kepada satu sama lain, Athena bertanya, “Rizky, kamu orang mana?” Pertamanya, aku tidak mengerti, tapi aku akhirnya mengerti. “Oh ya! Aku orang Sunda,” jawabku. Dia mengangguk-angguk, tapi sepertinya dia tidak mengerti sama sekali. “Biar kujelaskan. Orang Sunda adalah kesukuan orang-orang dari bagian Barat Jawa. Kesukuan Sunda juga adalah kesukuan kedua paling besar setelah orang-orang kesukuan Jawa.” Setelah penjelasan itu, dia mulai mengerti. Lalu dia bertanya lagi, “Apakah orang-orang Sunda punya kebudayaan?” Mendengar itu, aku merasa tersinggung sedikit, karena harusnya dia sudah tahu bahwa setiap suku punya kebudayaan tersendiri! Tapi, aku meredam rasa kesalku, dan menjawab “Tentu saja Suku Sunda punya kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi sopan santun. Pada umumnya, orang-orang sunda juga periang, ramah-ramah atau dalam Bahasa Sunda disebut soméah. Mereka juga murah senyum, lemah-lembut, dan sangat menghormati orang-orang yang lebih tua.” Saat aku melihat wajahnya, dia seperti anak kecil yang baru belajar penjumlahan. Lalu, dia bertanya lagi, "Berarti, kamu bisa bicara Bahasa Sunda?" Mungkin dia masih tidak bisa berpikir cepat. Aku hanya mengangguk untuk menjawab pertanyaan dia. "Bisakah kamu contohkan?" dia bertanya lagi. Aku menghembuskan nafas, dan bilang, “Néng téh geulis pisan." Dia terlihat sangat puas, mendengarku berbicara Bahasa Sunda. Tiba-tiba, ban mobil yang kami tumpangi, meletus.
"Sepertinya kita harus menunggu bantuan teman polisiku dulu di sini." Lalu kutelepon seseorang untuk membantuku. Karena sebenarnya aku tidak punya teman polisi. "Rizky, jelaskan lebih banyak lagi tentang Budaya Sunda," dia meminta kepadaku. Aku melihat ke matanya, dan aku bisa melihat, dia penuh rasa ingin tahu. “Baiklah.” Dia mengangguk dengan semangat. “Ada juga yang namanya nilai-nilai sunda, yaitu Silih Asih, Silih Asah dan Silih Asuh, yang berarti saling mengasihi, saling menyempurnakan atau memperbaiki, dan saling melindungi. Masyarakat Sunda juga memiliki kesenian tersendiri. Di antaranya adalah Wayang Golek. Wayang Golek adalah boneka kayu yang dimainkan berdasarkan karakter tertentu dalam suatu cerita pewayangan. Ada juga alat-alat musik tradisional, seperti angklung, reak, dan lain-lain.” Lalu dia bertanya lagi, “Angklung dan reak itu seperti apa?” Gadis ini, dia pasti mendapatkan nilai seratus dalam semua pelajaran, karena banyak bertanya. Bagiku, mungkin terlalu banyak bertanya. Tetapi, aku disini untuk menjelaskan segalanya tentang kebudayaan Sunda. "Angklung adalah suatu instrumen musik yang terbuat dari bambu yang unik dan enak didengar. Angklung juga sudah menjadi salah satu Kebudayaan Sunda, dan telah  menjadi salah satu warisan bagi Indonesia. Seni Reak, atau kuda lumping, adalah sebuah pertunjukan yang terdiri dari empat alat musik ritmis yang berbentuk seperti drum yang terbuat dari kayu dan alas yang dipukul terbuat dari kulit sapi, yang disebut dog-dog yang ukurannya beragam, yaitu Tilingtit, yaitu berukuran kecil, Tung, yaitu lebih besar dari Tilingtit, Brung, yaitu kedua terbesar, dan yang terakhir, Badoblag, yaitu ukuran yang paling besar. Itulah Budaya Sunda.” Dia mengangguk-angguk lagi. Dia mengerti, dan aku tidak usah menjelaskan apa-apa lagi, untuk sekarang. Setelah beberapa saat, akhirnya, ban yang meletus sudah diganti dengan ban cadangan yang ada di belakang. Akhirnya, kami kembali dalam perjalanan menuju Monumen Perjuangan.
Setelah beberapa saat, kami semua akhirnya sampai, di Monumen Perjuangan. Monumen itu berbentuk seperti beberapa bilah bambu yang besar. Lalu, di belakangnya ada pepohonana yang cukup rindang dan subur. Yang terpampang paling jelas adalah adalah lambang garuda Indonesia. Aku melihat Athena dan teman-temannya, dan saat melihat wajah mereka, aku tahu saat itu, mereka menginginkan lebih banyak penjelasan, tentang Monumen Perjuangan. “Athena, Isogai, Karma, bilang saja kalau kamu inginkan sesuatu,” aku bilang pada mereka. Setelah itu, mereka bertiga berlari menuju dalam Monumen tersebut. Aku melihat pada jam tanganku, dan jam itu menunjukkan sekarang itu pukul 9 pagi. Waktu terasa sangat lambat saat kau menemani seseorang yang tidak tahu apa-apa tentang banyak tempat, karena aku, Phalosa, dan Nadif pergi dari apartemen yang kami sewa, pukul 8 pagi.
Setelah itu, kami menyusul mereka ke dalam Monumen tersebut. Saat di dalam, mereka ada di sana, menunggu kami untuk menghampiri. “Baiklah. Apakah ada hal yang ingin kalian ketahui?” Aku bertanya kepada mereka. Lalu, Athena menjawab, “Aku ingin tahu sejarah Dewi Sartika.” Aku mengangguk-angguk, karena pertanyaan kali ini sangatlah berat, tetapi tidak ada hal yang mustahil bagi aku, kecuali membuat orang mati hidup kembali, dan menentang Tuhan. Setelah mendengar pertanyaannya, aku mengambil tangannya dan menggenggamnya dengan erat agar tidak terlepas dari tanganku. “Mari kita mulai. Aku akan menjawab permintaanmu tadi, tentang Raden Dewi Sartika. Raden Dewi Sartika adalah salah satu pahlawan perempuan yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dimana Raden Dewi Sartika dilahirkan pada tanggal 4, Desember, 1884, dan wafat pada tanggal 11, September 1947. Raden Ayu Dewi Sartika merupakan anak kedua dari lima bersaudara, di mana beliau adalah keturunan dari bangsawan. Setelah perang, Raden Ayu Dewi Sartika menikah dengan pria Indonesia yang bernama Udin Gutama. Lalu, adik Raden Ayu Dewi Sartika, Asep Palahudin, menikah dengan seorang wanita Jepang bernama Hibachi Tsunotsuke dan mereka mempunyai anak bernama Shinichi Tatsumi. Tetapi, Hibachi Tsunotsuke meninggal saat melahirkan, tetapi anak mereka berhasil dilahirkan, lalu Asep Palahudin meninggal karena penyakit jantung akut. Beberapa tahun kemudian, Shinichi memberi ide kepada Raden Ayu Dewi Sartika, untuk membuat sebuah sekolah khusus wanita. Lalu, Raden Ayu Dewi Sartika membuat sekolah tersebut, dengan nama Sekolah Isteri. pada ulang tahunnya yang ke-35, Raden Ayu Dewi Sartika dianugrahi gelar Orde Van Oranje-Nassau, sebagai penghargaan atas jasanya. Sampai sekarang pun, Raden Ayu Dewi Sartika telah dikenal sebagai seorang Pahlawan Nasional dan Perintis Pendidikan Wanita.”
Setelah penjelasan itu, Athena terlihat kelelahan. “Rizky, I think I need to sit down,” dia bilang padaku. Karena suatu hal, dia tiba-tiba berbicara Bahasa Inggris. Saat Athena sedang beristirahat, Phalosa menghampiriku, dan bilang, “Rizky, sepertinya aku dan Karma akan ke apartemen lebih dulu. Karma sepertinya terlihat sakit.” Aku mengangguk-angguk untuk menjawab dia. Setelah itu, mereka berdua berjalan keluar dari Monumen Perjuangan. “Ada lagi yang ingin kamu ketahui, Athena?” aku bertanya pada dia. Lalu, dia menjawab, “Apa kamu tahu, silsilah Raden Ayu Dewi Sartika?” Akhirnya, dia memberikanku sebuah pertanyaan yang sangat mudah. “Tentu saja. Nama ayah beliau yaitu Raden Rangga Somanegara. Raden Rangga Somanegara memiliki 5 anak. Anak pertama adalah Rafie Hatta, dan yang kedua adalah Raden Ayu Dewi Sartika Yang ke-3 adalah Asep Palahudin. Yang ke-4 adalah Naufal Swanto, dan anak bungsu bernama Salma Santika.” Setelah mendengar penjelasan tadi, dia sekarang ingin pergi ke tempat lain.
Kami berjalan keluar, dan saat kami keluar, mobil kami sudah siap. Saat kami berempat mau masuk ke dalam mobil tersebut, Nadif menarik aku dari Athena dan Isogai. “Ada apa?” aku bertanya. “Rizky, sepertinya aku dan Isogai akan ke apartemen lebih dulu. Aku merasa mual. Tenang, kami akan memakai angkutan kota.” Setelah itu Isogai menghampiri kami, dan menarik Nadif. “Rizky-san, arigatou gozaimasu,” Isogai bilang kepadaku. Kalau tidak salah, itu adalah cara orang Jepang bilang terima kasih. Setelah itu, aku berbalik kepada Athena. “Sepertinya kita sekarang hanya berdua saja?” ia bertanya. “Iya. Kamu ingin ke mana?” aku bertanya kepada Athena. Lalu, dia menjawab, “Aku ingin ke tempat dimana aku bisa mendapatkan pemandangan yang indah.” Jadi, pemandangan indah yang dia incar? Aku sama sekali, tidak tahu tempat yang memberikan pemandangan yang indah, kecuali… “Athena, aku tahu tempat di mana kita bisa melihat seluruh Bandung.” Setelah aku bilang itu, mata Athena langsung berbinar-binar, karena penasaran. Kami masuk ke dalam mobil, lalu aku menutup pintu mobil tersebut. “Di mana tempat ini?” Athena bertanya. Lalu, aku menjawab, “Tempat ini adalah, Dago Giri.” Dia langsung merasa sangat tidak sabar. aku bilang ke dia. Dia mengangguk untuk menanggapiku. Beberapa saat setelah Athena mendapatkan informasi-informasi yang sangat spesifik tadi saat di Monumen Perjuangan, ia jatuh tertidur. Saat melihat dia tertidur, saat aku melihat kejalan di depan, dan sepertinya masih akan lama, sampai di Dago Giri, jadi, aku ingin tidur dulu untuk sejenak. Aku melihat jam tanganku, sekarang sudah pukul 11 siang. Aku hanya bisa berharap, aku tertidur sampai sekitar jam tujuh malam, agar pemandangan dari Dago Giri itu lagi semaksimal-maksimalnya. Setelah aku tertidur, mobil mulai bergerak, dan jalanan menuju Dago Giri, mulai lancar, untuk sesaat. Aku terbangun dari tidurku yang sangat lelap dan nyenyak. Aku melihat jam tanganku, dan sepertinya permohonanku itu terkabulkan. Aku tertidur, selama delapan jam setengah !
Aku selalu ingin tertidur selama itu. Aku melihat di sebelahku, tidak ada Athena. Aku melihat keluar, dan disanalah dia berada. Aku juga ikut keluar, untuk melihat pemandangan Bandung, saat malam. Dia terduduk disana, menatap kebawah. Aku juga ikut duduk, tetapi sepertinya dia sedang melamun. Aku menjentikkan jariku untuk memastikan dia tidak melamun untuk terlalu lama. “Athena, wake-up. Is not very good to be in the clouds for too long”, ujarku kepada dia. Dia mengangguk-ngangguk, tapi sepertinya dia masih ling-lung akan sekitarnya. Setelah itu, kami berdua melihat pemandangan bercahaya, Bandung malam. “Menurutmu, ini tempat yang tepat, bukan?”, aku bertanya. Lalu, dia melihatku dengan penuh senyum, dan bilang, “Ya! Ini adalah tempat paling bagus di seluruh Bandung!”. Mendengar perkataannya, aku merasa lega. “Athena, aku ingin tahu,” ujarku. Dia melihatku kebingungan. “Sepertinya kamu hanya tertarik kepada Raden Ayu Dewi Sartika saja. Mengapa?“ Dia mengangguk-angguk, lalu dia mulai menjelaskan.
“Sebenarnya, aku tidak tertarik pada awalnya. Tetapi, setelah aku melihat silsilah keluargaku, Raden Ayu Dewi Sartika adalah bibiku. Lalu, aku meminta penjelasan dari kakekku, yaitu cucunya Asep Palahudin. Ternyata, Raden Ayu Dewi Sartika adalah orang Indonesia. Lalu, sekolah mengajukan pertukaran murid antara Indonesia dan Jepang. Aku mengajukan diri agar bisa mendapatkan penjelasan tentang bibiku. Itulah kebenarannya. " Setelah mendengar penjelasannnya, aku mulai mengerti.
“Apakah hanya itu?” aku bertanya kepada dia. Lalu. Dia menjawab, “Sebelum kakakku yang ke-tiga pergi ke Italia, dia memberikanku sebuah kalung dan sebuah cincin yang terbuat dari emas dan berlian. Aku kira ini hanyalah sebuah hadiah untuk mengenang dia, tetapi sesungguhnya, kalung dan cincin ini dari ibu kami, yang beliau dapatkan dari neneknya. Dan, ternyata neneknya adalah Raden Ayu Dewi Sartika.” Ternyata, keluarganya itu sangat mendalam. Kalau dipikir-pikir lagi, berarti Athena adalah keluarga bangsawan dari Indonesia? Semua hal ini membuatku bingung. “Mengapa kamu jadi tinggal di Jepang?” aku bertanya kepada dia. Lalu, dia menjawab, “Aku ikut ayah dan ibuku ke Jepang, karena mereka bilang Indonesia adalah negara penuh Yakuza.” Yakuza? Oh, sekarang aku ingat! Yakuza adalah panggilan untuk preman dalam Bahasa Jepang. “Sebenarnya ada yang lain lagi,” dia bilang padaku. “Ayahku mendengar dari nenekku, bahwa aku mewariskan semua harta milik buyutku, Raden Ayu Dewi Sartika.” Mendengar itu membuatku sangat terkejut. Dia sudah menjadi cucu seorang Pahlawan Nasional, dan sekarang, dia memberitahukanku bahwa dia mendapatkan seluruh warisan milik Raden Ayu Dewi Sartika! Aku menganggap semua itu mustahil, tetapi menjadi kenyataan. “Bolehkah aku mendapatkan sedikit warisanmu?” aku bertanya kepada dia. Lalu dia menjawab, “Boleh saja, tetapi, masih ada beberapa permintaan dariku.”
Aku sangat menanti pertanyaan ini. Semoga saja pertanyaan yang dilontarkan tidak terlalu menyusahkan. “Pertama, aku ingin lebih banyak pengalaman di Bandung. Ke-2, aku ingin bertemu teman-temanmu di Sekolah Tunas Unggul. Dan yang ke-3, aku ingin mengetahui lebih banyak tentang Raden Ayu Dewi Sartika. Yang ke-4, aku ingin mengetahui silsilah Raden Ayu Dewi Sartika lebih banyak dan lebih dalam. Dan yang terakhir, Rizky, aku ingin ke tempat lain, dan aku ingin mendengarkan suatu hal lagi,” dia meminta. Semoga, pertanyaan kali ini lebih sulit, karena empat pertanyaan sebelumnya, entah kenapa, terasa sangat mudah. Lalu, aku menanyakan balik, “Baiklah. Kamu ingin ke mana, Athena?” Lalu, dia bilang, “Aku ingin ke tempat dimana kita bisa berdua saja. Lalu, aku ingin mendengar segalanya tentang dirimu.” Mendengar itu, aku tersanjung. “Baiklah, tetapi ini akan menjadi malam yang panjang, karena ada banyak hal yang bisa diceritakan dariku. Kemungkinan kita sampai di apartemen, jam sepuluh, bisakah kamu bangun sampai larut malam?” Dia mengangguk-ngangguk dengan penuh kesenangan, dan ketidaksabaran. "Baiklah, Athena. Mari kita mulai."
The End

 
Design by Free WordPress Themes | Tata Letak oleh Mochamad Latif Faidah